Pers Mengejar Rating, Kaum Muslim Pun Tersakiti

Ambil contoh ketika terjadi peristiwa ledakan bom di Hotel Marriot dan Ritz Charlton di Jakarta pada Jumat pagi (17/7), secara tidak langsung mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Abdullah Mahmud Hendropriyono menuding pelakunya kelompok Wahabi. Saat diwawancarai sebuah TV swasta via sambungan telepon Jumat malam, ia mengatakan, pemerintah hendaknya lebih mengantisipasi gerakan Wahabi di Indonesia.
Dalam pemberitaan ini, media pun tidak melakukan klarifikasi ulang berkaitan penyebutan Wahabi. Padahal dengan menyebut istilah Wahabi ini, malah justru bisa menimbulkan persoalan di masyarakat. Kategori Wahabi ini sangat longgar sekali.
Ada sebagian masyarakat yang menganggap kelompok Wahabi adalah kelompok atau golongan yang tidak suka dengan kegiatan tahlil dan ziarah kubur. Ini tentu bisa menimbulkan benturan antarormas keagamaan yang memiliki kebiasaan berbeda. Sementara di antara ormas keagamaan itu masing-masing pasti tidak mengembangkan kegiatan yang bersifat teror, kecuali hanya mengembangkan kegiatan pendidikan dan dakwah.
Tak salah jika kemudian Ketua PP Muhammadiyah Dr Yunahar Ilyas menyebutkan, ajaran yang dikembangkan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab (yang dianggap Wahabi, Red) adalah ajaran memurnikan tauhid. Tak ada hubungannya dengan tindakan teror. (www.hidayatullah.com, Selasa (4/8).
Sementara Ketua Umum DDII KH Syuhada Bahri mengungkapkan, ada keinginan dari kelompok tertentu yang tidak ingin melihat Islam berkembang maju. Caranya, dengan mengkaitkan aksi teror dengan ajaran Wahabi.
“Ajaran Wahabi itu mengajak untuk kembali kepada ajaran yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah,” katanya. Kalau ajaran Wahabi ini dilaksanakan dan diketahui oleh umat Islam secara sadar, akan menjadi kekuatan yang dahsyat yang bisa membawa umat kepada kemajuan. Umat Islam tidak akan terpuruk jika berpegang kepada Al-Quran dan Sunnah.
Dia menjelaskan, dahulu yang dianggap Wahabi itu organisasi Muhammadiyah, Persis, dan al-Irsyad. Dia mempertanyakan, apakah organisasi-organisasi Islam ini mau disebut teroris. Padahal organisasi Islam tersebut telah lama memberikan kontribusi nyata untuk negeri ini.

Bahkan busana dan penampilan umat Islam pun menjadi bahan pembahasan di media massa. Sampai-sampai salah satu aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL), Novriantoni Kahar di sebuah stasiun TV, Jumat, (21/8) malam, berkomentar lepas dari adab beragama dengan mendesak agar sebagian umat Islam sementara waktu melepaskan simbol-simbol Islam. Yang dimaksudkan simbol-simbol Islam itu berjenggot, jubah, dan cadar.
Tampak sekali upaya-upaya menanggulangi aksi terorisme telah berjalan di luar relnya. Media dan aparat keamanan bergerak jauh menyinggung sensitivitas yang ada di masyarakat, terutama berkaitan dengan wilayah pelaksanaan ibadah.
Ketua PBNU, Said Aqil Siradj, sampai berpendapat, stigmatisasi negatif dan banyaknya kasus salah tangkap sebagai fenomena fitnah. Padahal, sebelum aksi teroris terjadi, sebagian besar masyarakat menghormati orang yang mengenakan sejumlah simbol keagamaan itu. Hal itu karena menunjukkan simbol ketaatan kepada sunnah Rasul. Saat ini, sejumlah simbol itu malah diidentikkan dengan teroris. ''Ayah saya sendiri berjenggot. Saat shalat Jumat, ayah saya bergamis. Ini yang dinamakan zaman fitnah,'' katanya.
Said juga menyesalkan, stigmatisasi negatif atas pesantren karena memang tidak benar. Pesantren merupakan lembaga pendidikan untuk mendidik santri menjadi teladan bagi keluarga dan bangsa. Karena itu, tidak bisa menggeneralisasi kesalahan yang dilakukan segelintir alumnus pesantren sebagai alasan menstigmatisasi negatif semua pesantren.
''Di Indonesia, ada 15 ribu pesantren. Masak, kalau misalnya 1-2 pesantren terlibat, puluhan ribu dianggap terlibat,'' katanya. Ia mengimbau polisi tidak menggeneralisasi simbol keagamaan sebagai teroris.
Menurut Zainal Arifin Emka, mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Surabaya Post yang kini menjadi Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya-Akademi Wartawan Surabaya, pemberitaan media massa terhadap kasus terorisme bukan hanya tidak bijak, tapi juga serampangan dan tidak sensitif. Karena itu wajar kalau pemberitaan terorisme bukan memunculkan kesadaran, tapi justru memperkuat kecurigaan bahwa ada rekayasa kepentingan di balik aksi terorisme itu sendiri.
“Kalau penyebutan simbol-simbol agama seperti itu dilakukan oleh Sydney Jones (analis terorisme dari International Crisis Group), saya masih bisa memahami. Konyolnya atau bodohnya, ada presenter televisi yang menanyai reporternya di lapangan dengan pertanyaan: apakah si tersangka teroris itu suka mengaji, sering ke surau, menjadi imam shalat, dan kadang-kadang berkhotbah. Identifikasi seperti itu hanya menyakitkan umat Islam, sekaligus mengadu domba dan membangun sikap curiga di masyarakat,” katanya.
Sedang menurut Pemimpin Redaksi www.eramuslim.com Mashadi, pemberitaan terkait terorisme yang gencar dilakukan berbagai stasiun televisi, salah satu tujuannya sebagai upaya mengejar rating. “Mereka hidup dari iklan, maka dibuatlah program-program, termasuk program berita, yang dapat memperoleh rating tinggi,” ungkapnya di Jakarta.
Isu terorisme adalah isu yang saat ini hangat diberitakan. Itu sebabnya stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan berita terkait terorisme yang bersifat eksklusif, beda, aneh, dan terbaru. Jangan heran kalau banyak media televisi mengait-ngaitkan liputannya dengan beberapa hal, meski sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu terorisme.
Hal senada disampaikan Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saat ini, berita terorisme sangat diminati para pemirsa. “Ini bisa kita saksikan dari penayangan secara live penggrebekan Densus 88 di Temanggung oleh beberapa stasiun televisi. Jutaan pemirsa selama belasan jam tersihir oleh tayangan itu,” katanya.
Banyaknya pemirsa yang menonton, jelas Ismail, tentu akan mempengaruhi rating program berita tersebut.
[sourcewww.hidayatullah.com]Tampak sekali upaya-upaya menanggulangi aksi terorisme telah berjalan di luar relnya. Media dan aparat keamanan bergerak jauh menyinggung sensitivitas yang ada di masyarakat, terutama berkaitan dengan wilayah pelaksanaan ibadah.
Ketua PBNU, Said Aqil Siradj, sampai berpendapat, stigmatisasi negatif dan banyaknya kasus salah tangkap sebagai fenomena fitnah. Padahal, sebelum aksi teroris terjadi, sebagian besar masyarakat menghormati orang yang mengenakan sejumlah simbol keagamaan itu. Hal itu karena menunjukkan simbol ketaatan kepada sunnah Rasul. Saat ini, sejumlah simbol itu malah diidentikkan dengan teroris. ''Ayah saya sendiri berjenggot. Saat shalat Jumat, ayah saya bergamis. Ini yang dinamakan zaman fitnah,'' katanya.
Said juga menyesalkan, stigmatisasi negatif atas pesantren karena memang tidak benar. Pesantren merupakan lembaga pendidikan untuk mendidik santri menjadi teladan bagi keluarga dan bangsa. Karena itu, tidak bisa menggeneralisasi kesalahan yang dilakukan segelintir alumnus pesantren sebagai alasan menstigmatisasi negatif semua pesantren.
''Di Indonesia, ada 15 ribu pesantren. Masak, kalau misalnya 1-2 pesantren terlibat, puluhan ribu dianggap terlibat,'' katanya. Ia mengimbau polisi tidak menggeneralisasi simbol keagamaan sebagai teroris.
Menurut Zainal Arifin Emka, mantan Wakil Pemimpin Redaksi Harian Surabaya Post yang kini menjadi Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Surabaya-Akademi Wartawan Surabaya, pemberitaan media massa terhadap kasus terorisme bukan hanya tidak bijak, tapi juga serampangan dan tidak sensitif. Karena itu wajar kalau pemberitaan terorisme bukan memunculkan kesadaran, tapi justru memperkuat kecurigaan bahwa ada rekayasa kepentingan di balik aksi terorisme itu sendiri.
“Kalau penyebutan simbol-simbol agama seperti itu dilakukan oleh Sydney Jones (analis terorisme dari International Crisis Group), saya masih bisa memahami. Konyolnya atau bodohnya, ada presenter televisi yang menanyai reporternya di lapangan dengan pertanyaan: apakah si tersangka teroris itu suka mengaji, sering ke surau, menjadi imam shalat, dan kadang-kadang berkhotbah. Identifikasi seperti itu hanya menyakitkan umat Islam, sekaligus mengadu domba dan membangun sikap curiga di masyarakat,” katanya.
Sedang menurut Pemimpin Redaksi www.eramuslim.com Mashadi, pemberitaan terkait terorisme yang gencar dilakukan berbagai stasiun televisi, salah satu tujuannya sebagai upaya mengejar rating. “Mereka hidup dari iklan, maka dibuatlah program-program, termasuk program berita, yang dapat memperoleh rating tinggi,” ungkapnya di Jakarta.
Isu terorisme adalah isu yang saat ini hangat diberitakan. Itu sebabnya stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan berita terkait terorisme yang bersifat eksklusif, beda, aneh, dan terbaru. Jangan heran kalau banyak media televisi mengait-ngaitkan liputannya dengan beberapa hal, meski sama sekali tidak ada kaitannya dengan isu terorisme.
Hal senada disampaikan Ismail Yusanto, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saat ini, berita terorisme sangat diminati para pemirsa. “Ini bisa kita saksikan dari penayangan secara live penggrebekan Densus 88 di Temanggung oleh beberapa stasiun televisi. Jutaan pemirsa selama belasan jam tersihir oleh tayangan itu,” katanya.
Banyaknya pemirsa yang menonton, jelas Ismail, tentu akan mempengaruhi rating program berita tersebut.
Tags: Nasional

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Share your views...
0 Respones to "Pers Mengejar Rating, Kaum Muslim Pun Tersakiti"
Posting Komentar