Maksud Seolah-olah Melihat Allah



Didalam sebuah hadits shahih dari Umar bin Khottob yang menceritakan tentang kedatangan Jibril menemui Rasulullah saw yang saat itu tengah berkumpul bersama para sahabatnya. Diantara yang ditanyakan Jibril kepada Rasulullah saw adalah tentang makna ihsan lalu beliau saw menjawab,”(ihsan) hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguh-Nya Dia melihatmu.” Dan jawaban ini pun dibenarkan oleh Jibril.

Hadits shahih ini diriwayatkan oleh Imam Muslim didalam “Shahih” nya, kitab ‘al Iman’, hadits no. 8. Juga Imam Tirmidzi didalam “Sunan” nya, kitab ‘al Iman’, hadits no. 2738. Juga Abu Daud didalam “Sunan” nya, kitab ‘as Sunnah’ bab ‘al Qodr’ hadits no. 4695 serta Imam Nasai didalam “Sunan” nya, kitab ‘al Iman’ bab ‘Na’tul Islam’ 8/97

Tentang makna “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya”, Ibnu Rajab didalam bukunya “Jami’ al Ulum wa al Hikam” mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan seorang hamba yang beribadah kepada Allah swt dengan sifat ini, yaitu menghadirkan kedekatan Allah swt dan Allah berada dihadapannya seakan-akan dirinya melihat-Nya. Hal demikian akan memunculkan perasaan takut dan pengagungan-Nya sebagaimana disebutkan didalam riwayat Abu Hurairoh,”Takutlah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.”

Perasaan itu juga akan memunculkan kemurnian didalam ibadah dan upaya sekeras mungkin untuk memurnikan dan menyempurnakan ibadahnya itu sebagaimana wasiat Nabi saw kepada para sahabatnya yang diriwayatkan Ibrahim al Hijriy dari Abu al Ahwash dari Abu Dzar berkata,”Kekasihku (Rasulullah saw) pernah memberikan wasiat kepadaku agar aku takut kepada Allah seakan-akan aku melihat-Nya dan jika aku tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatku.”

Kemudian Ibnu Rajab menjelaskan tentang makna “Dan jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Ada yang mengatakan bahwa bagian kedua ini merupakan penjelasan dari bagian pertama. Sesungguhnya jika seorang hamba diperintahkan untuk merasakan pengawasan Allah swt didalam ibadahnya dan menghadirkan kedekatan-Nya terhadap dirinya sehingga seakan-akan dirinya melihat Allah maka hal ini sangatlah sulit.

Untuk itu hendaklah dirinya meminta pertolongan dengan keimanannya bahwa Allah swt melihatnya, mengetahui segala yang tersembunyi dan tampak padanya, yang batin maupun yang lahir dan tak satupun dari perkaranya yang tersembunyi dari-Nya.

Ada juga yang mengatakan bahwa hadits itu mengisayaratkan bagi siapa saja yang kesulitan didalam beribadahnya kepada Allah swt seakan-akan dirinya melihat-Nya maka beribadahlah kepada Allah dengan keyakinan bahwa Allah melihat dirinya, memperhatikannya kemudian dirinya merasa malu atas penglihatan Allah kepadanya itu.

Sebagian orang-orang arif dari para salaf mengatakan,”Barangsiapa yang beramal karena Allah swt seakan-akan dia melihat-Nya maka ia adalah orang yang arif dan barangsiapa yang beramal dikarenakan Allah melihat-Nya maka ia adalah orang yang ikhlas.”

Dari perkataan tersebut menunjukkan adanya dua posisi :

Posisi Ikhlas; yaitu seorang hamba yang beramal dengan menghadirkan penglihatan Allah terhadap dirinya, pengamatan-Nya dan kedekatan-Nya dengan dirinya. Maka apabila seorang hamba menghadrikan seperti itu didalam amalnya dan beramal karena itu maka ia adalah seorang yang ikhlas karena Allah karena menghadirkan hal demikian didalam amalnya menghalanginya dari berpaling kepada selain Allah dan kehendak-Nya dengan amal yang dilakukannya.

Posisi Musyahadah (menyaksikan); yaitu seorang hamba yang beramal sebagai tuntutan karena dirinya menyaksikan Allah dengan hatinya dikarenakan hatinya telah diterangi oleh cahaya keimanan, mata hatinya menembus pengetahuan sehingga menjadikan sesuatu yang ghaib seakan-akan terihat, inilah hakekat ihsan yang diisyaratkan didalam hadits Jibril diatas.

Dengan demikian yang dimaksudkan kalimat “seakan-akan engkau melihat-Nya” adalah melihat dengan hatinya yang dipenuhi dengan cahaya keimanan kepada Allah swt bukan dengan matanya dan bukan pula membayangkan dzat Allah swt dengan akal fikirannya yang serba terbatas untuk bisa mencapainya. Karena dilarang bagi seorang hamba yang menghabiskan waktunya untuk merenungi atau memikirkan dzat Allah swt akan tetapi diperintahkan baginya untuk merenungi berbagai ciptaan-Nya yang ada di sekitarnya dikarenakan keterbatasan yang ada pada dirinya, sebagaimana firman Allah swt :

لاَّ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Artinya : “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.” (QS. Al An’am : 103)

Wallahu A’lam


Read More Add your Comment 0 komentar


Maksud Seolah-olah Melihat Allah



Didalam sebuah hadits shahih dari Umar bin Khottob yang menceritakan tentang kedatangan Jibril menemui Rasulullah saw yang saat itu tengah berkumpul bersama para sahabatnya. Diantara yang ditanyakan Jibril kepada Rasulullah saw adalah tentang makna ihsan lalu beliau saw menjawab,”(ihsan) hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya dan jika engkau tidak melihat-Nya, sesungguh-Nya Dia melihatmu.” Dan jawaban ini pun dibenarkan oleh Jibril.

Hadits shahih ini diriwayatkan oleh Imam Muslim didalam “Shahih” nya, kitab ‘al Iman’, hadits no. 8. Juga Imam Tirmidzi didalam “Sunan” nya, kitab ‘al Iman’, hadits no. 2738. Juga Abu Daud didalam “Sunan” nya, kitab ‘as Sunnah’ bab ‘al Qodr’ hadits no. 4695 serta Imam Nasai didalam “Sunan” nya, kitab ‘al Iman’ bab ‘Na’tul Islam’ 8/97

Tentang makna “Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya”, Ibnu Rajab didalam bukunya “Jami’ al Ulum wa al Hikam” mengatakan bahwa hadits ini menunjukkan seorang hamba yang beribadah kepada Allah swt dengan sifat ini, yaitu menghadirkan kedekatan Allah swt dan Allah berada dihadapannya seakan-akan dirinya melihat-Nya. Hal demikian akan memunculkan perasaan takut dan pengagungan-Nya sebagaimana disebutkan didalam riwayat Abu Hurairoh,”Takutlah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya.”

Perasaan itu juga akan memunculkan kemurnian didalam ibadah dan upaya sekeras mungkin untuk memurnikan dan menyempurnakan ibadahnya itu sebagaimana wasiat Nabi saw kepada para sahabatnya yang diriwayatkan Ibrahim al Hijriy dari Abu al Ahwash dari Abu Dzar berkata,”Kekasihku (Rasulullah saw) pernah memberikan wasiat kepadaku agar aku takut kepada Allah seakan-akan aku melihat-Nya dan jika aku tidak melihat-Nya sesungguhnya Dia melihatku.”

Kemudian Ibnu Rajab menjelaskan tentang makna “Dan jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Ada yang mengatakan bahwa bagian kedua ini merupakan penjelasan dari bagian pertama. Sesungguhnya jika seorang hamba diperintahkan untuk merasakan pengawasan Allah swt didalam ibadahnya dan menghadirkan kedekatan-Nya terhadap dirinya sehingga seakan-akan dirinya melihat Allah maka hal ini sangatlah sulit.

Untuk itu hendaklah dirinya meminta pertolongan dengan keimanannya bahwa Allah swt melihatnya, mengetahui segala yang tersembunyi dan tampak padanya, yang batin maupun yang lahir dan tak satupun dari perkaranya yang tersembunyi dari-Nya.

Ada juga yang mengatakan bahwa hadits itu mengisayaratkan bagi siapa saja yang kesulitan didalam beribadahnya kepada Allah swt seakan-akan dirinya melihat-Nya maka beribadahlah kepada Allah dengan keyakinan bahwa Allah melihat dirinya, memperhatikannya kemudian dirinya merasa malu atas penglihatan Allah kepadanya itu.

Sebagian orang-orang arif dari para salaf mengatakan,”Barangsiapa yang beramal karena Allah swt seakan-akan dia melihat-Nya maka ia adalah orang yang arif dan barangsiapa yang beramal dikarenakan Allah melihat-Nya maka ia adalah orang yang ikhlas.”

Dari perkataan tersebut menunjukkan adanya dua posisi :

Posisi Ikhlas; yaitu seorang hamba yang beramal dengan menghadirkan penglihatan Allah terhadap dirinya, pengamatan-Nya dan kedekatan-Nya dengan dirinya. Maka apabila seorang hamba menghadrikan seperti itu didalam amalnya dan beramal karena itu maka ia adalah seorang yang ikhlas karena Allah karena menghadirkan hal demikian didalam amalnya menghalanginya dari berpaling kepada selain Allah dan kehendak-Nya dengan amal yang dilakukannya.

Posisi Musyahadah (menyaksikan); yaitu seorang hamba yang beramal sebagai tuntutan karena dirinya menyaksikan Allah dengan hatinya dikarenakan hatinya telah diterangi oleh cahaya keimanan, mata hatinya menembus pengetahuan sehingga menjadikan sesuatu yang ghaib seakan-akan terihat, inilah hakekat ihsan yang diisyaratkan didalam hadits Jibril diatas.

Dengan demikian yang dimaksudkan kalimat “seakan-akan engkau melihat-Nya” adalah melihat dengan hatinya yang dipenuhi dengan cahaya keimanan kepada Allah swt bukan dengan matanya dan bukan pula membayangkan dzat Allah swt dengan akal fikirannya yang serba terbatas untuk bisa mencapainya. Karena dilarang bagi seorang hamba yang menghabiskan waktunya untuk merenungi atau memikirkan dzat Allah swt akan tetapi diperintahkan baginya untuk merenungi berbagai ciptaan-Nya yang ada di sekitarnya dikarenakan keterbatasan yang ada pada dirinya, sebagaimana firman Allah swt :

لاَّ تُدْرِكُهُ الأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ

Artinya : “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.” (QS. Al An’am : 103)

Wallahu A’lam


Read More Add your Comment 0 komentar


Tasawuf



Pandangan paling monumental tentang Tasawuf muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa Tasawuf atau Sufi muncul dari akar-akar historis, bahasa, intelektual dan filsafat di luar Islam.Dalam buku Ar-Risalatul Qusyairiyah ia menegaskan bahwa kesalahpahaman banyak orang terhadap tasawuf semata-mata karena ketidaktahuan mereka terhadap hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah firman Allah swt:

* “Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-8)
* ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia mendzikirkan nama Tuhannya lalu dia shalat.” (QS. Al-A’laa: 14-15)
* “Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa” (QS. Al-A’raf: 205)
* “Dan bertqawalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 282)

Sabda Nabi saw:

* “Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)
* Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf adalah implementasi dari sebuah kerangka agung Islam. Secara lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:
1. Muhammad al-Jurairy:
“Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”
2. Al-Junaid al-Baghdady:
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu dan menghidupkan dirimu bersama dengan-Nya.”
“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.”
“Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”
“Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”
“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’ dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”
“Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.”
“ Jika engkau meliuhat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”
3. Al-Husain bin Manshur al-Hallaj:
“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.”
4. Abu Hamzah Al-Baghdady:
“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersem, bunyi.”
5. Amr bin Utsman Al-Makky:
“Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.”
6. Mohammad bin Ali al-Qashshab:
“Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.”
7. Samnun:
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun."
8. Ruwaim bin Ahmad:
“Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendaki-Nya.”
“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra dan memilih.”
9. Ma’ruf Al-Karkhy:
“Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.
10. Hamdun al-Qashshsar:
“Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk mermaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahklan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu.”
11. Al-Kharraz:
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian karena kami.”
12. Sahl bin Abdullah:
“Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”
13. Ahmad an-Nuury:
“Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala tidak punya dan peduli orang lain ketika ada.”
14. Muhammad bin Ali Kattany:
“Tasawuf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf.”
15. Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary:
“Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engklau diusir.”
“Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan denganya.”
16. Abu Bakr asy-Syibly:
“Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt tanpa hasrat.”
“Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah swt sebagaimana difirmankan Allah swt, kepada Musa, 'Dan Aku telah memilihmu untuk Diri-Ku' (Thoha: 41) dan memisahkanmu dari yang lain. Kemudian Allah swt berfirman kepadanya, 'Engkau tak akan bisa melihat-Ku'.”
“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”
“Tasawuf adalah kilat yang menyala dan Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”
“Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”
17. Al-Jurairy:
“Tasawuf berarti kesadaran atas keadaaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”
18. Al-Muzayyin:
“Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”
19. Askar an-Nakhsyaby:
“Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.”
20. Dzun Nuun Al-Mishry:
“Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”
21. Muhammad al-Wasithy:
“Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”
22. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy:
“Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, 'siapakah, yang menurutmu Sufi itu?' Lalu ia menjawab, 'Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit'. Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.”
23. Ahmad ibnul Jalla’:
“Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah swt tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.”
24. Abu Ya’qub al-Madzabily:
“Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”
25. Abul Hasan as-Sirwany:
“Sufi yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang mehyertainya.”
26. Abu Ali Ad-Daqqaq:
“Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, 'Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt, untuk menyapu kotoran binatang'."
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.”
27. Abu Sahl ash-Sha’luki:
“Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”

Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya.

Alhasil, dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara hamba dengan Allah swt dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata lain, Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya, pengakuan diri akan haknya sebagai hama dan haknya terhadap sesama di dalam amal kehidupan.
(source:www.qalbu.net)


Read More Add your Comment 0 komentar


Tasawuf



Pandangan paling monumental tentang Tasawuf muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah. Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa Tasawuf atau Sufi muncul dari akar-akar historis, bahasa, intelektual dan filsafat di luar Islam.Dalam buku Ar-Risalatul Qusyairiyah ia menegaskan bahwa kesalahpahaman banyak orang terhadap tasawuf semata-mata karena ketidaktahuan mereka terhadap hakikat Tasawuf itu sendiri. Menurutnya Tasawuf merupakan bentuk amaliyah, ruh, rasa dan pekerti dalam Islam itu sendiri. Ruhnya adalah firman Allah swt:

* “Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 7-8)
* ”Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia mendzikirkan nama Tuhannya lalu dia shalat.” (QS. Al-A’laa: 14-15)
* “Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang alpa” (QS. Al-A’raf: 205)
* “Dan bertqawalah kepada Allah; dan Allah mengajarimu (memberi ilmu); dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah: 282)

Sabda Nabi saw:

* “Ihsan adalah hendaknya engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, maka apabila engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu”. (HR. Muslim, Tirmidzi, Abu Dawud dan Nasa’i)
* Tasawuf pada prinsipnya bukanlah tambahan terhadap Al-Qur’an dan hadits, justru Tasawuf adalah implementasi dari sebuah kerangka agung Islam. Secara lebih rinci, Al-Qusyairy meyebutkan beberapa definisi dari para Sufi besar:
1. Muhammad al-Jurairy:
“Tasawuf berarti memasuki setiap akhlak yang mulia dan keluar dari setiap akhlak yang tercela.”
2. Al-Junaid al-Baghdady:
“Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu dan menghidupkan dirimu bersama dengan-Nya.”
“Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Tanpa keterikatan dengan apa pun.”
“Tasawuf adalah perang tanpa kompromi.”
“Tasawuf adalah anggota dari satu keluarga yang tidak bisa dimasuki oleh orang-orang selain mereka.”
“Tasawuf adalah dzikir bersama, ekstase yang diserta sama’ dan tindakan yang didasari Sunnah Nabi.”
“Kaum Sufi seperti bumi, yang diinjak oleh orang saleh maupun pendosa; juga seperti mendung, yang memayungi segala yang ada; seperti air hujan, mengairi segala sesuatu.”
“ Jika engkau meliuhat Sufi menaruh kepedulian kepada penampilan lahiriyahnya, maka ketahuilah bahwa wujud batinnya rusak.”
3. Al-Husain bin Manshur al-Hallaj:
“Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak menerima siapa pun.”
4. Abu Hamzah Al-Baghdady:
“Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersem, bunyi.”
5. Amr bin Utsman Al-Makky:
“Tasawuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling baik saat itu.”
6. Mohammad bin Ali al-Qashshab:
“Tasawuf adalah akhlak mulia, dari orang yang mulia di tengah-tengah kaum yang mulia.”
7. Samnun:
“Tasawuf berarti engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki apapun."
8. Ruwaim bin Ahmad:
“Tasawuf artinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendaki-Nya.”
“Tasawuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan kefakiran, mencapai sifat hakikat dengan memberi, dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri dan meninggalkan sikap kontra dan memilih.”
9. Ma’ruf Al-Karkhy:
“Tasawuf artinya, memihak pada hakikat-hakikat dan memutuskan harapan dari semua yang ada pada makhluk”.
10. Hamdun al-Qashshsar:
“Bersahabatlah dengan para Sufi, karena mereka melihat dengan alasan-alasan untuk mermaafkan perbuatan-perbuatan yang tak baik dan bagi mereka perbuatan-perbuatan baik pun bukan suatu yang besar, bahklan mereka bukan menganggapmu besar karena mengerjakan kebaikan itu.”
11. Al-Kharraz:
“Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan jiwa yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Mereka diseru oleh rahasia-rahasia yang lebih dekat di hatinya, ingatlah, menangislah kalian karena kami.”
12. Sahl bin Abdullah:
“Sufi adalah orang yang memandang darah dan hartanya tumpah secara gratis.”
13. Ahmad an-Nuury:
“Tanda orang Sufi adalah ia rela manakala tidak punya dan peduli orang lain ketika ada.”
14. Muhammad bin Ali Kattany:
“Tasawuf adalah akhlak yang baik, barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, berarti ia melebihimu dalam Tasawuf.”
15. Ahmad bin Muhammad ar-Rudzbary:
“Tasawuf adalah tinggal di pintu Sang Kekasih, sekali pun engklau diusir.”
“Tasawuf adalah Sucinya Taqarrub, setelah kotornya berjauhan denganya.”
16. Abu Bakr asy-Syibly:
“Tasawuf adalah duduk bersama Allah swt tanpa hasrat.”
“Sufi terpisah dari manusia dan bersambung dengan Allah swt sebagaimana difirmankan Allah swt, kepada Musa, 'Dan Aku telah memilihmu untuk Diri-Ku' (Thoha: 41) dan memisahkanmu dari yang lain. Kemudian Allah swt berfirman kepadanya, 'Engkau tak akan bisa melihat-Ku'.”
“Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan Yang Haq.”
“Tasawuf adalah kilat yang menyala dan Tasawuf terlindung dari memandang makhluk.”
“Sufi disebut Sufi karena adanya sesuatu yang membekas pada jiwa mereka. Jika bukan demikian halnya, niscaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka.”
17. Al-Jurairy:
“Tasawuf berarti kesadaran atas keadaaan diri sendiri dan berpegang pada adab.”
18. Al-Muzayyin:
“Tasawuf adalah kepasrahan kepada Al-Haq.”
19. Askar an-Nakhsyaby:
“Orang Sufi tidaklah dikotori suatu apa pun, tetapi menyucikan segalanya.”
20. Dzun Nuun Al-Mishry:
“Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada.”
21. Muhammad al-Wasithy:
“Mula-mula para Sufi diberi isyarat, kemudian menjadi gerakan-gerakan dan sekarang tak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”
22. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy:
“Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, 'siapakah, yang menurutmu Sufi itu?' Lalu ia menjawab, 'Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit'. Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan.”
23. Ahmad ibnul Jalla’:
“Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali tidak memiliki sarana-sarana duniawi. Mereka bersama Allah swt tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya disebut Sufi.”
24. Abu Ya’qub al-Madzabily:
“Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus.”
25. Abul Hasan as-Sirwany:
“Sufi yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang mehyertainya.”
26. Abu Ali Ad-Daqqaq:
“Yang terbaik untuk diucapkan tentang masalah ini adalah, 'Inilah jalan yang tidak cocok kecuali bagi kaum yang jiwanya telah digunakan Allah swt, untuk menyapu kotoran binatang'."
“Seandainya sang fakir tak punya apa-apa lagi kecuali hanya ruhnya dan ruhnya ditawarkannya pada anjing-anjing di pintu ini, niscaya tak seekor pun yang menaruh perhatian padanya.”
27. Abu Sahl ash-Sha’luki:
“Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah.”

Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya.

Alhasil, dari seluruh definisi itu, semuanya membuktikan adanya adab hubungan antara hamba dengan Allah swt dan hubungan antara hamba dengan sesamanya. Dengan kata lain, Tasawuf merupakan wujud cinta seorang hamba kepada Allah dan Rasul-Nya, pengakuan diri akan haknya sebagai hama dan haknya terhadap sesama di dalam amal kehidupan.
(source:www.qalbu.net)


Read More Add your Comment 0 komentar


 

Statistik

About Me

Our Partners

© 2010 Kumpulan Contoh Pidato, Cara dan Cerpen All Rights Reserved Thesis WordPress Theme Converted into Blogger Template by Hack Tutors.info